Menumbuhkan Kebaikan Tulus
Hendro Susilo, SPd
Guru SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta
Anggota IGI Soloraya
Problem kemasyarakatan kian merebak. Tindakan pencurian (koruptif), asusila, anarkisme, serta penganiayaan menjadi tontonan yang tidak asing lagi. Bahkan, kehidupan dunia remaja- pun tidak terlepas dari hal tersebut. Tengok saja kasus pelajar dipukul dan disundut rokok karena menolak memberi uang (Joglosemar, 20/4) yang terjadi di Sragen. Penganiayaan siswi SMU di Yogyakarta hanya karena gambar Hello Kitty, atau video rekaman asusila yang melibatkan siswa SMP di Jakarta, serta kejadian lain yang serupa dan melibatkan anak usia sekolah (remaja).
Hal ini menimbulkan keprihatinan luas dari masyarakat. Dengan munculnya keprihatinan tersebut, di satu sisi mendorong dan memunculkan semangat mencanangkan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Pendidikan karakter diyakini mampu menjadi solusi atas problem masyarakat tersebut.
Pendidikan Karakter
Menurut Suyanto (2009) pendidikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan karakter mencoba membantu anak untuk melakukan perilaku yang baik, santun dan disiplin secara terus menerus. Pendidikan karakter juga mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan berperilaku yang membantu individu untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kebiasaan yang baik tidak menjadi jaminan juga, bahwa seseorang telah memiliki karakter baik. Karena, bisa saja perbuatannya tersebut dilandasi karena rasa takut, bukan karena penghargaan yang tinggi atas nilai kebaikan tersebut. Jadi, pendidikan karakter pun perlu dilengkapi dengan aspek perasaan (affective development). Aspek yang penting untuk menumbuhkan keinginan yang tulus berbuat kebaikan (desiring the good). Tanpa aspek ini, seseorang hanya akan menjadi robot, berbuat sesuatu hanya ketika mendapatkan perintah saja.
Menarik mencermati pendapat dari Thomas Lickona dan William Kilpatrick (pencetus pendidikan karakter),bahwa pendidikan karakter berangkat dari knowing menuju doing. Menurutnya, ketidakmampuan seseorang berbuat baik meskipun sebenarnya memiliki pengetahuan tentang perbuatan baik itu (moral knowing), karena tidak terlatih melakukan kebaikan (moral doing). Maka, berdasarkan frame pemikiran tersebut, kunci sukses pendidikan karakter ditentukan adanya knowing, loving dan doing.
Sekilas, akan diuraikan mengenai knowing,loving dan doing. Menurut William Kilpatrick, Moral Knowing sebagai aspek pertama terdiri dari enam unsur. Keenam unsur tersebut harus diajarkan pada siswa untuk mengisi aspek kognitif. Keenam unsur tersebut antara lain kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai-nilai moral, penentuan sudut pandang, logika moral, keberanian mengambil menentukan sikap dan pengenalan diri.
Loving ( moral feeling), merupakan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Aspek ini perlu penguatan dalam diri siswa berupa perilaku-perilaku seperti percaya diri, kesadaran akan jati diri, kepekaan terhadap derita orang lain, pengendalian diri, cinta kepada nilai kebenaran, serta kerendahan hati. Apabila kedua hal tersebut (moral knowing dan moral loving) sudah terwujud dalam diri siswa, maka akan mudah karakter terbentuk dan menjadi moral doing (moral acting). Akan tetapi perlu diingat, ketiga tahapan tadi knowing, loving dan doing perlu disuguhkan kepada siswa dengan melalui cara yang rasional, logis dan suasana demokratis.
Tantangan
Kita mengetahui bersama, bahwa masa remaja adalah sebagai periode yang penting. Dikatakan penting karena perkembangan fisik dan mental yang cepat, adanya penyesuaian mental, pembentukan sikap, nilai dan minat baru. Masa remaja juga disebut masa peralihan, peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya.
Menurut Hurlock, masa remaja adalah periode perubahan. Terdapat perubahan-perubahan yang bersifat universal seperti meningginya emosi, perubahan tubuh, perubahan minat, perubahan perilaku, ingin kebebasan dan takut bertanggung jawab.
Jika kita perhatikan dengan seksama, dunia remaja memiliki karakteristik yang khusus. Secara psikologis, masa remaja adalah usia di mana anak sudah tidak merasa lagi di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada pada tingkatan yang sama, setidaknya dalam hal hak. Remaja adalah usia di mana individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa. Sementara di sisi yang lain, dalam kehidupan di masyarakat banyak sekali contoh-contoh hal yang bisa merusak karakter remaja.
Dunia yang semakin maju dengan tantangan sosial dan teknologi patut menjadi perhatian. Remaja mau tidak mau harus masuk dalam perkembangan dunia. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) seperti dua mata sisi uang. Artinya, memiliki dampak positif sekaligus negatif. Kita bersyukur bila remaja di negara kita bisa mengambil hal positif dari perkembangan pesat Iptek. Namun, kita bersedih bila hal negatif justru yang diserap oleh remaja di sekitar kita. Sebagai filter dampak negatif kemajuan Iptek, diperlukan karakter kokoh dari remaja itu sendiri. Untuk mewujudkannya, diperlukan ikhtiar dari semua unsur elemen masyarakat.
Sebuah Ikhtiar
Judul tulisan ini Menumbuhkan Kebaikan Tulus bermuara pada berbuat baik atas dasar ketulusan dan keikhlasan. Ketulusan pada penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kebaikan itu sendiri. Pendapat Thomas Lickona dan William Kilpatrick, bahwasanya kesuksesan pendidikan karakter di mulai dari proses knowing, loving and doing.
Penulis perlu menggaris bawahi, bahwasannya proses membangun karakter harus dimulai dari kesadaran moral yang dibungkus religiusitas. Kesadaran moral ini merupakan salah satu unsur dalam moral knowing. Nilai-nilai/ruh agama menjadi landasan dari proses knowing, loving and doing, sehingga “perbuatan baik” yang dilakukan benar-benar memancarkan ketulusan dan keikhlasan.
Usaha membangun karakter remaja bisa dilakukan di keluarga,sekolah dan masyarakat. Menurut Phillips (2000), keluarga harus menjadi “school of love” atau sekolah untuk kasih sayang. Keluarga harus menjadi madrasah mawwadah wa rahmah, yaitu tempat belajar yang penuh kasih sayang dan cinta sejati. Sekolah pun harus mengembangkan pendidikan watak dan karakter disamping transfer pengetahuan. Sekolah dapat menerapkan pendekatan “modelling”/ uswah hasanah dengan pembiasaan yang menegakkan nilai akhlak dan moral, menjelaskan dan mensosialisasikan secara terus menerus kepada para siswa tentang nilai kebaikan.
Masyarakat juga memiliki pengaruh besar dalam penanaman nilai moral dan pembentukan karakter. Situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Untuk itu, amar ma’ruf dan nahi munkar perlu ditegakkan dalam masyarakat. Tujuannya agar bisa menjadi contoh dan motivasi bagi para remaja di sekitar kita. Dengan demikian, perilaku menyimpang dari remaja seperti contoh diatas, bisa dihindari dengan menanamkan karakter cinta kebaikan melalui proses knowing, loving dan doing.
0 comments:
Posting Komentar